Nusa Tenggara Timur, Travelling

Explore Timor-Flores 2012 (part 29 ): Firasat Wae Rebo

Wae Rebo
Wae Rebo

Firasat itu sinyal dari  Maha Kuasa tentang masa depan, butuh kepekaan  hati dan rasa untuk menyadari kehadirannya.

Teringat Koran Kompas 30 September 2012 , dalam pesawat penerbangan Jambi-Jakarta. Dua berita seolah firasat dari Tuhan tentang kejadian hari-hari di Flores.  Hal 12 , Penghargaan Unesco – Mbaru Niang Dapat Penghargaan Tertinggi.  Hal 16, Djitran Pah – Sasando untuk Indonesia Raya. Siapa menyangka esok hari saya berada di rumah Bapak Jeremish – Maestro Sasando Indonesia – orang tua Djitran Pah . Jika hari ini saya menuju desa Wae Rebo bukan kebetulan tapi Tuhan telah merencanakannya.

Konservasi rumah tradisional mbaru niang di Wae Rebo, Flores, Nusa Tenggara Timur, mendapat penghargaan tinggi, Award of Excellence dalam konservasi warisan budaya 2012 Organisaso Pendidikan, Ilmu Pengetahuan , dan Budaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) kawasan Asia Pasifik. Begitu isi paragraph pertama , masih teringat membangkitkan rasa penasaran.

Hiking  4 jam tantangan terberat menuju Wae Rebo apalagi dengan cuaca tidak menentu. Mendung menggantung di atas bukit, kami memulai perjalanan dari Dintor – penginapan Wae Rebo Lodge – tepat pukul 2 siang. Sebelum memulai perjalanan ada briefing singkat dari pemandu, Pak Yosef . Bagaimana seharusnya kami berprilaku seperti  tidak berkata kotor dan berpakaian sopan. Serta tidak memberikan anak-anak kembang gula karena tidak baik untuk kesehatan dan membiasakan mereka berharap sesuatu dari turis. Hal terpenting  ketika sampai di desa akan ada upacara Waelu memohon perlindungan leluhur.

Sebelum memulai hiking dari belakang SD Dange melewati kampung Kombo berjarak 5 kilometer. Pak Yosef menunjukan salah satu rumahnya di kampung dini. Mayoritas penduduk Wae Rebo memiliki rumah di Kombo tempat menitipkan anak mereka agar dapat berseskolah. Tiap akhir pekan anak-anak akan pulang ke Wae Rebo lalu senin pagi kembali menuju rumah kedua. Di tengah perjalanan Elyudien berseloroh kepada Pak Yosef, “Kalau punya rumah dua berarti bisa punya dua istri  satu di Wae Rebo satu di Kombo”. Lalu disambut derai tertawa ringan para lelaki seisi mobil tanda setuju.

Agar lebih menikmati perjalanan kami patungan menyewa porter. Meskipun mengendong barang kami Pak Piyus  tetap tersenyum ceria. Berjalan mantap mengiringi langkah kami sambil sesekali mempraktekan bahasa Inggris yang baru dipelajarinya. “Biar bisa bicara dengan tamu bule”, ujarnya lugu.

Sepertiga jalan dari Denge menuju Wae Lumba menyisir kanal berarus deras. Gemercik suara pegunungan dan kupu-kupu warna-warni menyambut. Berikutnya tantangan membuat lutut bergetar kelelahan menanjak  batu-batu besar. Untung ada sungai kecil tempat istirahat penawar rasa lelah tapi tidak boleh terlalu lama perjalanan masih panjang.

Elyudien dan Clement sudah jauh di depan sedangkan tiga wanita , Pak Yosef dan Pak Piyus di belakang. Track dari Wae Lumba sampai Poco Roko cukup ekstrim. Menyusuri bibir jurang mungkin indah bagi sebagian orang tapi cukup menegangkan bagi saya. Apalagi ketika salah berpijak batu-batu berjatuhan longsor. Meskipun terpisah sendiri dari rombongan merasa aman, sesekali berjumpa warga yang turun atau naik. Dan seperti kearifan lokal di Flores, tegur sapa sesuatu yang lazim

Salute! Buat Rosi, Evi dan Lucy , wanita usia 40-an tetap semangat melakukan aktivitas outdoor .  Sambil berjalan Pak Yosef berdialog bersama wisatawan, salah satu cara melupakan rasa lelah.  Dengan fasihnya beliau menjelaskan beragam jenis tumbuhan hutan. Dari yang bermanfaat dan bisa dikonsumsi sampai yang beracun. Paling lucu ketika beliau menunjukan salah satu pisang hutan. Untuk mengambilnya perambah harus dalam keadaan bugil. Agar penjaga pisang – konon wanita – tertawa terpingkal-pingkal lalu membuka seludang penutupnya.

Tidak sadar kami sudah sampai di Poco Roko. Tiba-tiba Pak Yosef dan Pak Piyus menghidupkan ponsel lalu dering pesan singkat bertubi-tubi masuk. Di atas tebing ini biasanya warga berkomunikasi dengan dunia luar menelepon atau menerima pesan singkat. Jika tidak ada waktu turun ke Denge, dua hari sekali Pak Yosef akan kemari meng-up date informasi.

Lega rasanya ketika Pak Yosef berkata jarak Wae Rebo tidak terlalu jauh, sekali turunan akan sampai. Dan benar saja berikutnya adalah turunan tapi tidak lebih baik dari Wae Lumba. Kami harus menyusuri tebing sisa longsor, tanahanya masih labil. Apabila menengok ke jurang sisa-sisa pohon tumbang masih ada. Jalan ini memang baru saja diperbaiki beberapa bulan lalu setelah hujan deras meluruhkan tanah. Membuat warga Wae Rebo kehilangan akses jalan selama berhari-hari.

Satu kali tanjakan wajah-wajah lelah ini tersenyum menyaksikan tujuh buah kerucut di balik bukit. Karena ini akhir pekan banyak anak-anak pulang kampung. Elyudien dan Clement sudah berbaur bermain bola bersama mereka. Hari belum gelap kami masih bisa menikmati sepenggal senja di Wae Rebo sebelum masuk Mbaru Niang.

Kami disambut layaknya warga setempat yang baru pulang merantau. Para tetua duduk di depan duduk hikmad. Bapak Isidorus 84 tahun, melafalkan doa permohonan ijin kepada leluhur. Seekor ayam hitam dipersiapkan sebagai persembahan. Suasana menjadi sangat sakral penuh aura mistis. Saya mengambil gambar upacara tanpa lampu flash. Berkali-kali memastikan apakah benar ada sosok wanita duduk di belakang tetua.Dalam foto tergambar jelas wanita duduk dekat pintu tapi ternyata tidak ada siapa-siapa di sana.

Gangguan generator set membuat malam di Wae Rebo semakin sempurna. Makan malam bersama di bawah petromak lalu berbincang bersama warga. Pak Yosef membagikan pengalaman hidupnya merantau di Sulawesi. Pria berusia 42 tahun ini memutuskan kembali ke desanya setelah menikah. Sajian kopi hangat menawarkan rasa dingin yang mulai menyeruak bersama angin malam. Pak Yosef mengajak kami mengunjungi rumahnya yang didiami beberapa keluarga. Masing-masing memiliki kamar dan tungku di tengah Mbaru Niang. Rupanya filosofi berbagi yang ingin dibagikan kakek Maro -leluhur Wae Rebo – kepada keturunannnya. Meskipun memiliki tungku masing-masing tiap keluarga menempatkan dapurnya di tengah mbaru niang. Memungkinkan mereka saling berbagi makanan .

Malam semakin larut tapi saya , Elyudien Clement mencoba tetap terjaga. Kaki dan tangan kami sedang dianyam gelang rotan. Sedangkan  tiga wanita dan para warga sudah tertidur lelap di bagian dasar bangunan  lutur. Mata saya menerawang ke lantai berikutnya lobo , leba atau kaeng tempat menyimpan hasil kebun seperti padi , jagung dan umbi-umbian. Di lantai berikutnya ada  lentar tempat menyimpan benih tanaman. Mengantisipasi masa paceklik di atas lentar terdapat lempa rae tempat cadangan makanan. Paling atas bangunan terdapat hekang kode yakni ruang khusus sesajen para leluhur.

Napas saya terengah-engah sedangkan Elyudien sudah di atas bukit menanti matahari terbit. Tidak seperti sunrise di pantai tapi momen terindah di Wae Rebo ketika sinar bergerak berlahan menerangi bukit di utara. Seolah menjadi tanda alam masyarakat memulai aktivitas pagi. Biji-biji kopi diserakan di atas plastik untuk dikeringkan.  Aroma kopi arabika biasa dipanen bulan Agustus dan September menyeruak . Meskipun lebih tajam di lambung  harga lebih mahal dari robusta. Para manula duduk di atas dolmen mbaru niang. Evi dan Rosi asik menumbuk kopi menggunakan lumpang bersama para mama.

Matahari semakin tinggi kami berpamitan kepada warga , terutama para mama di dapur. Turun ke Denge bersama warga yang ingin datang ke acara pengobatan gratis . Ternyata Bu Herlina sudah ada di sana dan begabung bersama relawan. Setelah berpamitan dan mengucap salam perpisahan kepada  Pak Piyus dan Pak Yosef , kami bergerak menuju Dintor. Dari  kaca spion  memandang lambaian tangan  dua  pria yang telah menuntun langkah kami.  Pemandangan laut biru dan pulau Moles membentang di depan. Dalam hati berujar lirih sepertinya bakal ada keindahan tertinggal . Berharap suatu saat bisa kembali ke sini.

Poco Raka - tempat beristirahat
Poco Raka – tempat beristirahat
melewati tebing longsor
melewati tebing longsor
tujuh rumah tradisional - mbaru niang
tujuh rumah tradisional – mbaru niang
tetua adat dalam upacara Waelu
tetua adat dalam upacara Waelu
merajut gelang rotan
merajut gelang rotan
tangga (kiri); jimat (kanan)
tangga (kiri); jimat (kanan)
mbaru niang (kiri)
mbaru niang (kiri)
kopi - komoditas Wae Rebo
kopi – komoditas Wae Rebo
menikmati cahaya pagi matahari
menikmati cahaya pagi matahari
anak-anak Wae Rebo
anak-anak Wae Rebo
kaum manula Wae Rebo
kaum manula Wae Rebo
pagi di Wae Rebo
pagi di Wae Rebo
bangunan beratap ijuk
bangunan beratap ijuk

(Tulisan ini memenangkan lomba Jelajah Bumi Papua – Adira Faces Of Indonesia)

RELATED STORIES

Explore Timor-Flores 2012 (part 1): Tawaran Menggiurkan
Explore Timor-Flores 2012 (part 2): Dari Barat Ke Timur
Explore Timor-Flores 2012 (part 3): Sejengkal Waktu di Kupang
Explore Timor-Flores 2012 (part 4): Jejak Sasando
Explore Timor-Flores 2012 (part 5): Lintas Negara 12 Jam
Explore Timor-Flores 2012 (part 6): Jalan Tanpa Snappy
Explore Timor-Flores 2012 (part 7): Kampung Alor, Kampung KD
Explore Timor-Flores 2012 (part 8): Mengais Cinderamata Pasar Tais
Explore Timor-Flores 2012 (part 9): Sholat di Masjid An Nur
Explore Timor-Flores 2012 (part 10): Senyum Kunci Masuk Istana
Explore Timor-Flores 2012 (part 11): Nge-Mall di Timor Plasa
Explore Timor-Flores 2012 (part 12): Bonus Keindahan Di Cristo Rei
Explore Timor-Flores 2012 (part 13): Hampir Malam di Dili
Explore Timor-Flores 2012 (part 14): Rosalina Pulang
Explore Timor-Flores 2012 (part 15): Friend, Fotografi , Food
Explore Timor-Flores 2012 (part 16): Pantai Pertama Flores, Kajuwulu
Explore Timor-Flores 2012 (part 17): Kearifan Lokal Renggarasi
Explore Timor-Flores 2012 (part 18): Petualangan Mendebarkan, Murusobe
Explore Timor-Flores 2012 (part 19): Life Begin At Forty
Explore Timor-Flores 2012 (part 20): Clement on Kelimutu
Explore Timor-Flores 2012 (part 21): Kenangan Desa Wologai
Explore Timor-Flores 2012 (part 22): Green Green
Explore Timor-Flores 2012 (part 23): Riang Nga-Riung di Riung
Explore Timor-Flores 2012 (part 24): Hot dan Cold Trip
Explore Timor-Flores 2012 (part 25): Kampung Bena
Explore Timor-Flores 2012 (part 26 ): Ruteng, Sofi dan Pesta
Explore Timor-Flores 2012 (part 27 ): Lingko, Spiderweb Rice Field
Explore Timor-Flores 2012 (part 28 ): Dintor dan Ide Si Mami
Explore Timor-Flores 2012 (part 29 ): Firasat Wae Rebo
Explore Timor-Flores 2012 (part 30 ): Labuan Bajo Time
Explore Timor-Flores 2012 (part 31 ): Kanawa The Love Island
Explore Timor-Flores 2012 (part 32 ): Hopping S.O.S.
Explore Timor-Flores 2012 (part 33 ): Ini Komodo Bukan Omdo
Explore Timor-Flores 2012 (part 34 ): Caca Marica Pulau Rinca
Explore Timor-Flores 2012 (part 35 ): Drama Happy Ending

51 tanggapan untuk “Explore Timor-Flores 2012 (part 29 ): Firasat Wae Rebo”

  1. Hallo mas Danan, salam kenal.
    Saya dan beberapa teman berencana untuk mengunjungi waerebo akhir bulan ini. *goosh semoga kami kuat untuk trekkingnya yaah 😀

    Mas Danan, saya terbiasa untuk membawakan oleh-oleh seperti buku, alat tulis dan permen untuk anak-anak dan Sirih untuk orang tua dr tempat yang akan saya kunjungi.
    Membaca tulisan mas Danan diatas mengenai briefing dr Pak yosef ttg memberi kembang gula, saya jadi mmm…mikir” takut nanti jd’nya malah jd kagok. Apa oleh” saya akan diterima ato saya justru menyalahi aturan.

    Umm..baiknya gimana yah mas.
    terima kasih
    🙂

    Suka

    1. Mending dibawakan buku dan alat tulis saja kakak, kalau seandainya ada permen mungkin dimakan saja bersama sama ketika berkumpul di dalam rumah setelah makan sbg pencuci mulut… Biasanya konsidi gn kan tangan bersih…

      Suka

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar